Lasem sebuah kota kecil penuh sejarah tepatnya berada di Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Tiga tahun terakhir kota Tiongkok Kecil itu, sedang naik pamor karena berbagai peninggalan sejarah dan budaya yang dimilikinya. Selain warisan budaya peranakan Tiong Hoa, kota yang dikenal sebagai awal pendaratan orang Tiongkok di tanah Jawa tersebut, masih memendam permata yang terlupakan yakni, Wayang Bengkong. Sebuah seni pertunjukan boneka yang selama satu dasawarsa sejak 1990-an seakan dilupakan oleh masyarakat. Namun pada tahun 2013 lalu, wayang yang memiliki usia ratusan tahun tersebut kembali dipentaskan dalam rangkaian Festival Lasem.
Wayang Bengkong awalnya bernama Gen Hong, yang merupakan salah satu abdi Santibodro pengarang buku Sabdo Badra Santi. Pertunjukan seni boneka ini anya terdiri dari tiga tokoh wayang yang semuanya lelaki. Yang paling besar berwarna hitam bernama “Mbah Bengkong atau Semar”, tokoh kedua berperawakan seperti kesatria di tokoh wayang kulit Mataraman bernama “Raden Panji”. Terakhir, meskipun berperawakan kecil dan berambut panjang dan mirip karakter wanita di wayang Mataram adalah karakter lelaki bernama “Kecruk atau Sri”. Wayang Bengkong yang sudah ada sejak zaman Majapahit itu, merupakan sebuah kesenian yang berasal dari desa Sendang Asri atau lebih dikenal berasal dari desa Kajar. Namun sayangnya, silsilah kepemilikan wayang ini hanya bisa ditelusuri sampai ke lima generasi kebelakang.
Berbeda dengan pakem pewayangan pada umumnya, pertunjukan seni boneka Bengkong tidak mengikuti pakem Mahabarata dan Ramayana. Melainkan bercerita tentang sejarah Lasem, namun lama kelamaan ceritanya berubah, seakan perkembangan zaman seperti hajat si penanggap (yang meminta wayang dimainkan). Dalang pertunjukan Wayang Bengkong sang Dalang memiliki peranan penting dalam mengemas cerita berdasarkan wangsit atau petunjuk yang diterima dari penanggap. Iringan gamelan yang mengalung tidak akan ditemukan pada pementasan, sebagai gantinya para “Nayagan” atau dikenal sebagai engrawit mengiringi pementasan wayang dengan cara akapela mengikuti suara gamelan.
Foto dan Teks : Agung N Wibowo/ ARKAMAYA