Indonesia adalah negeri yang dapat membuat kita jatuh cinta sekaligus patah hati di hari yang sama. Ketika keindahan alam, semangat, dan keramahan penduduknya harus terbentur segudang realita.
Kisah realitas dunia pendidikan, di Pindu Hurani, sebuah desa di Kecamatan Tabundung, selatan Kabupaten Sumba Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pindu Hurani berasal dari kata ‘pindu’ yang berarti pintu dan ‘hurani’ berarti pohon yang harum. Mungkin nama ini adalah kiasan akan karakter penduduknya, yang penuh kehangatan dan terbuka.
Matahari di balik bukit belum menyembul seutuhnya ketika langkah-langkah kecil nan telanjang terlihat menapaki jalan menuju satu-satunya sekolah di desa itu. Tak perlu diberi komando, setiap anak menempati barisan sesuai kelasnya masing-masing.
Tunduk dalam doa, perwira di hadapan bendera. Seperti itulah sikap anak-anak di SD Masehi Billa. Setelah berbaris rapi di lapangan upacara, mereka pun bergegas menuju kelas. Seluruh murid berkumpul untuk melakukan doa bersama. Setiap kepala tertunduk dalam, setiap mata terpejam khidmat.
Masing-masing ruang kelas kemudian terisi sepenuhnya. Walau tak semua terdapat guru di dalamnya. Wajah-wajah serius dan tatapan mata kosong saling berebut untuk menangkap pelajaran yang disajikan. Semangat belajar ini begitu merata. Baik murid laki-laki, maupun para rambu, panggilan khas bagi anak perempuan di daerah itu.
Tak hanya menjadi tempat mereka belajar atau menuntut ilmu. Sekolah merupakan tempat berdoa dan bernyanyi demi meneguhkan hati. Sekolah adalah tempat bermain dan becanda bersama teman-teman sebaya. Mengisi masa kanak-kanak dengan bahagia. Kehadiran guru, membuat sekolah tak hanya menjadi sebuah gedung yang dingin.
Banyak harapan yang ada. Khususnya pembangunan pendidikan dalam negeri. Menjadi petunjuk jalan, kemana mereka hendak diarahkan. Pindu Hurani tak sekedar sebuah desa di Sumba Timur. Pindu Hurani bagaikan pintu pembuka bagi desa lainnya. Di setiap pelosok, di negeri ini.
Menanti para guru, pendidik yang memiliki keinginan dan harapan untuk mencerdaskan anak-anak bangsa. Di tangan merekalah kelak, ad asa membangun desanya. Karena membangun negeri ini, harus dimulai dari desa mereka. Bukan dari ibukota.
Foto dan Teks : Gama Satria/ ARKAMAYA